Selasa, 05/01/2010 00:00 WIB
Membuat acuan bagi hakim hitung ganti rugi kasus HaKI
Para penegak hukum sepakat perlunya peraturan sebagai acuan bagi hakim dalam membuat putusan nilai ganti rugi dalam perkara berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual (HaKI).
Kesepakatan tersebut diambil dalam satu workshop yang diselenggarakan oleh Tim nasional penanggulangan pelanggaran hak kekayaan intelektual di Bali pertengahan bulan lalu.
Gagasan perlunya peraturan tersebut antara lain didasarkan atas kenyataan selama ini bahwa banyak kasus tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh para pihak yang merasa dirugikan akibat pelanggaran terhadap HaKI (mencakup kasus hak cipta, merek, desain industri dan paten).
“Selama ini hakim tidak memilik pegangan bagaimana cara menghitung kerugian yang diderita oleh pihak yang dirugikan akibat pelanggaran HaKI,” kata Ansori Sinungan, Sekretaris Koordinator Administrasi Timnas penangulangan pelanggaran HaKI.
Selama ini, menurutnya, memang belum ada kesamaan di antara para hakim bagaimana dalam menghitung tuntutan ganti rugi.
Banyak pertanyaan yang muncul berkaitan dengan hal tersebut. Pertama, apakah penghitungan nilai ganti rugi itu dihitung setelah sertifikat HaKI dibatalkan?
Kedua, apakah penghitungan nilai ganti rugi tersebut dilakukan sejak kasus tersebut diputus oleh majelis hakim?
“Banyak hakim gamang membuat perhitungan putusan ganti rugi karena tidak ada acuan. Untuk itulah dalam workshop belum lama ini disepakati perlunya aturan itu sebagai acuan bagi hakim, sehingga ada kesamaan pendapat di antara para hakim,” kata Ansori.
Pertanyaannya adalah siapa yang akan membuat aturan itu apakah Mahkamah Agung atau Timnas penanggulangan pelangaran HaKI dan Ditjen Hak Kekayaan Intelektual?.
“Belum sampai kepada kesimpulan instansi mana yang membuat aturan itu. Yang jelas sudah ada kebutuhan bahwa aparat penegak hukum perlu aturan sebagai acuan untuk menghitung ganti rugi kasus HaKI,” katanya.
Akan dibicarakan
Menurut dia, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM akan mengundang stakeholders yang terkait seperti pengacara, hakim untuk membicarakan masalah itu, sehingga ke depan putusan ganti rugi berkaitan dengan HaKI bisa lebih baik.
Ansori berpendapat perlu dilakukan studi banding terlebih dahulu ke negara-negara maju yang sudah berpengalaman dalam menjatuhkan putusan berkaitan dengan ganti rugi.
Sementara itu, Insan Budi Maulana, praktisi hukum, bependapat sah-sah saja kalau ada keinginan untuk membuat aturan sebagai acuan dalam penghitungan ganti rugi dalam kasus HaKI.
Dalam beberapa kasus HaKI yang diajukan oleh Insan, putusan hakim yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi dinilainya masih wajar. “Yang penting adalah bagaimana prosesnya dan putusan itu memberikan rasa keadilan,” kata praktisi dari law firm Lubis, Santosa & Maulana.
Dalam praktik, kata Insan, yang beberapa kali mengajukan tuntutan ganti rugi berkaitan dengan kasus pelanggaran HaKI, penghitungan tersebut termasuk kerugian materi dan immateriel.
Dalam penghitungan ganti rugi materiel, menurutnya, sebenarnya tidak terlalu rumit karena ada angka-angka hitungan yang diajukan oleh pemilik HaKI.
“Yang susah adalah menghitung ganti rugi immateriel karena di situ ada value dari merek, desain, cipta atau paten,” katanya.
Berdasarkan pengalaman selama ini, menurutnya, penghitugan ganti rugi mateiel itu didasarkan atas sudah berapa lama pelanggaran itu dilakukan, berapa potential profit yang hilang akibat pelanggaran itu, reputasi dari hak cipta, merek, desain atau merek, serta biaya pengacara.
“Di Indonesia, biaya pengacara jarang dimasukkan ke dalam tuntutan ganti rugi, padahal di luar negeri sudah merupakan hal yang biasa,” ujarnya.
Salah satu contoh menarik berkaitan dengan ganti rugi kasus HaKI di luar negeri adalah antara Louis Vuitton SA melawan Akanoc Solutions Inc di negara bagian California, AS
Louis Vuitton SA, produsen terbesar produk mewah, memenangi tuntutan gangirugi sebesar US$32,4 juta atas kasus pemalsuan produknya oleh Akanoc Solutions Inc., pemilik bisnis Internet dan dua tergugat lain.
Louis Vuitton berdalih bahwa Akanoc telah memasarkan produk palsu dengan merek Louis Vuitton melalui website mereka.
Pihak tergugat yang lain telah membantu memasarkan, mengiklankan dan memfasilitasi pemesanan barang-barang yang telah melanggar hak atas kekayaan intelektual (HaKI) yang dimiliki Louis Vuitton.
Justisiari P Kusumah, praktisi hukum dari law firm Soemadipradja & Taher menyambut baik rencana pembuatan aturan itu. Namun, dia mengingatkan bahwa aturan fungsinya hanyalah sebagai acuan bagi hakim, bukan standar baku.
Dalam praktik, menurutnya, hakim tetap memiliki kewenangan yang luas dalam membuat keputusan untuk memberi rasa keadilan.
Justi mengemukakan bahwa dalam praktik, pemilik hak biasanya mengajukan tuntutan gangirugi yang besar kepada pelanggar. “Hal seperti ini biasanya yang membuat kesan bahwa hakim gamang membuat putusan ganti rugi,” ujarnya.
Dalam beberapa kasus tuntutan ganti rugi yang diajukan ke pengadilan, menurut dia, putusan hakim cukup rasional.
Dia memberi contoh kasus pembajakan software pada tahun 2001. Pada waktu itu, pihaknya mengajukan tuntutan ganti rugi sebesar US$18 juta kepada lima pelanggar. Akan tetapi, majelis hakim hanya mengabulkan setengahnya yaitu US$9juta.
Pada waktu itu, katanya, pihak mengajukan tuntutan atas dasar perhitungan berapa laku terjual software itu setiap hari, kemudian dikalikan dengan hari kerja dan dikalikan dengan harga software yang dibajak, sehingga ketemu angka US$18juta.
“Formula yang kami pakai seperti itu dalam mengajukan tuntutan ganti rugi diterima oleh hakim, walaupun nilai tuntutan yang dikabulkan hanya US$9juta. Yang penting formula penghitungannya dierima oleh hakim,” katanya. (suwantin.oemar@bisnis.co.id)
Oleh Suwantin Oemar
Wartawan Bisnis Indonesia
bisnis.com
URL : http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/hukum-bisnis/1id154042.html